Di Ujung Lorong Itu Ada Apa (?) -ending-

Kali ini tak perlu kau tanyakan bagaimana bisa pintu ini terbuka untukku, aku pun tak tau jawabnya. Bagaimanapun itu, kini dia telah terbuka. Aku berhak memilih mencoba mencari cahaya dan kehangatan di sana. Tuhanku, kumohon lapangkan dadaku.

langkah-langkah yang terasa masih begitu berat ini terus ku lawan, aku tak ingin Tuhanku marah padaku. Aku tak ingin menjeratkan diriku pada ketidaknyamanan yang diciptakan oleh pikiranku sendiri. Aku ingin menyembuhkan segala luka, aku ingin diriku merasakan sedikit kehangatan, ya sedikit kehangatan dan cahaya yang mungkin akan kudapatkan setelah ini.

Benar tak ada yang istimewa, hanya saja aku telah keluar dari lorong kosong dingin dan gulita itu, aku bisa melihat dengan jelas pakaianku yang sudah menjadi sangat lusuh. Pakaian yang telah tergores sana-sini dilengkapi sedikit noda merah yang mungkin keluar dari tubuhku.

Sekarang yang perlu aku lakukan adalah percaya. Percaya bahwa akan ada sesuatu yang baik yang aku dapati nanti.

Tak berani menuntuk lebih pada diri ini untuk tidak gontai, aku biarkan saja sampai hati, pikiran dan ragaku telah kembali seirama, aku biarkan mereka berkompromi sebebasnya, tak ada paksaan dari diriku. Karena aku cukup tau apa yang telah mereka rasakan. Luka-luka dan keadaan yang menimbulkan banyak ketidaknyamanan pada hati, pikiran dan raga ini.

Baiklah, kita mulai perjalanan baru ini.

Pintu itu terbukan, Kulihat dinding kayu. Hmmm, rasanya aku seperti masuk dalam rumah tua tak berpenghuni, mungkin bukan lapang rumput hijau dengan burung kupu-kupu dan bungan serta hangatnya mentari seperti yang aku bayangkan. Ya, ini hanya lorong panjang seperti sebuah rumah kayu tua, dengan perabot seadanya. Lorong ini lebih berwarna, ada cahaya lampu disetiap sisinya. Cukup untuk membantuku mengembalikan kepekaan mataku pada cahaya. Rumah kayu tua tanpa jendela dan aku belum menemukan pintunya. Ada-ada saja memang, seperti tak nyata, tapi saat ini aku mengalaminya.

Cukup untukku memulihkan segala yang sempat terabaikan. Ku bersihkan diriku, kubasuh luka-luka yang tak tersentuh selama diruang dingin gulita itu, kuistirahatkan ragaku di kursi berbentuk sofa di salah satu sisi ruangan. Kuistirahatkan jiwaku, kutemui Tuhanku, ku memohon kesabaran dan keikhlasan untuk terus melangkah.

Rasanya hati ini mulai berdamai dengan keadaan, hati dan ragaku mulai menerima mungkin. Tapi, tidak dengan pikiranku, dia masih sedikit enggan melangkah. Telah kucoba untuk berbicara, memaksanya untuk tak begini, tapi ternyata tak semudah itu. Mungkin memang pikiran ini masih butuh waktu, tak semua dapat dengan mudah beradaptasi dengan keesktriman yang terjadi. Bukan keekstriman lingkungan, tapi keektriman mimpi dari pikiranku sendiri.

Setelah ragaku mulai pulih, ku mengajaknya untuk kembali melangkahkan kaki. Kususun lagi serpihan mimpi yang telah membeku bersama dinginnya lorong kosong sebelumnya. Kubangun dengan fondasi sederhana dengan segala upaya dan bersyukur akan kehendakNya. Biarlah mimpi ini abstrak, pikiranku masih tak ingin membantu menyusunnya dan akupun masih enggan melukiskan apa-apa. Aku hanya ingin mengelilingi lorong-lorong dalam rumah tua ini, mencari celah, mencari pintu atau mungkin akan kudapati mentari.

Kali ini tak ada lubang curam yang membuatku terperosok seperti sebelumnya, tak banyak jalanan terjal dan licin, dan bukan dalam lorong dingin nan gulita. Jalanan dalam rumah ini hanya seperti labirin yang dilengkapi ruangan dengan berbagai fungsi yang bisa aku gunakan. Aku tak melihat mentari, tapi masih ada cahaya yang membantuku untuk melihat rupa dan warna. Cukup.

Tak ada masalah dengan rumah tua ini, aku hanya perlu lebih berdamai dengan pikiranku. Dia semakin berontak. Aku mengira, ketika membiarkannya, lama kelamaan dia akan luluh kemudian dapat berkompromi dengan hati dan ragaku. Tapi, tidak. Pikiranku masih tak mau. Dia terus berontak, berusahan menghasut ragaku. Menimbulkan ketidaknyamanan baru. Aku pun mulai tidak suka!.

Kini aku mulai gontai, ingin memaksa semuanya agar berdamai. Aku tak mau menjadi seonggok daging yang tidak bersyukur. Tidak. Pikiranku terus berontak, dia memaksa ragaku untuk berjalan lebih cepat, lebih cepat menemukan mentari.

Mungkin hatiku lebih lunak, terus berusaha meyakinkan kalau aku harus bersabar. Lebih mentoleransi pikiranku, sehingga dia mau mengerti tentang segalanya..

Pergolakan batin ketika raga, hati dan pikiran itu tidak sejalan menguras banyak energi, ya menguras banyak energi. Aku beri waktu bagi mereka untuk berkomunikasi, untuk memberikan pemahaman, aku ingin semuanya sabar dan ikhlas. karena akan menjadi lebih baik.

Pikiranku mengalah, dia membiarkan hatiku menguasai keadaan. Membiarkan hatiku menuntun raga tanpa banyak protes dan bicara. Begini lebih baik.

Kususuri lorong demi lorong, kulangkahkan kaki dengan harapan, harapan yang tak lain adalah apa yang menjadi harapan pikiranku.

Aku teringat kata-kata mantra man shabara zhafira, apakah kau pernah dengar?, iya mantra sakti ahmad fuadi dalam ranah 3 warna-nya. Aku yakinkan mantra itu dalam setiap langkah ragaku. Agar ia tidak goyang.

Aku tak ingin memaksa keadaan. Biarkan dia mengalir, yang perlu aku lakukan adalah menikmati segalanya, mendamaikan pikiran ini.

Kau tau apa yang aku dapati setelahnya, aku tau rumah kayu tua dengan labirin ini pasti memiliki cendela yang akan mengantarkan aku pada mentari. Aku perya itu! dan aku MENEMUKANNYA!!

Aku menemukan jendelanya, aku tak butuk kunci untuk membukanya. Kuberanikan diri untuk melihat apa yang ada di luar sana dari sedikit celah yang terbuka. MENTARI!! di balik jendela ini ada mentari yang aku cari, dan padang rumput hijau. Aku tak menebak abu-abu. Ini nyata.

Kubuka jendela itu, Mentari, rumput, kupu-kupu dilengkapi dengan taman bunga. Tuhan telah memberikan dan mengijinkan aku menghirup aromanya, indah!! aku bersyukur atas segala rasa dalam setiap perjalanan mendapatkannya.

Mungkin ini bukan akhir dari sebuah perjalanan, mungkin ini adalah hadiah dari sebuah usaha dan kesabaran. Karena ujung dari sebuah lorong adalah awal dimulainya kembali sebuah kisah.

Seperti menebak abu-abu, kita tak akan pernah tau apa yang akan ada di ujung lorong itu.

Aku telah menemukan satu mentari untuk mencari mentari-mentari berikutnya.

Selamat bertualang mencari Mentarimu, Kawan.. Semoga senantiasa dalam semangat, kesabaran dan kesyukuran.. ^^

4 thoughts on “Di Ujung Lorong Itu Ada Apa (?) -ending-

Leave a comment